Beda Cara Survive di Perfileman Jogja, Nggak Masalah sih
Komunitas, kolektif, maupun ruang-ruang baru yang muncul pasca reformasi bermetamorfosis. Ada yang menjadi rumah produksi, festival, EO, dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan itu tidak memperlemah ekosistem perfileman Jogja. Perubahan itu menguatkan sekaligus memperkaya predikat Jogja sebagai kota seni di mata dunia. Perubahan itu juga semacam retrospeksi padat bahwa Jogja berisi para pegiat yang enggan tergilas zaman.
Bagaimana wajah baru itu bertahan di tengah gempuran zaman, apalagi di era digital, saat tiap orang dituntut berpikir cepat di tengah ruang-ruang digital adalah persoalan lain. Apalagi saat pandemi yang memperlambat perputaran uang produksi dalam berkesenian. Strategi untuk bertahan hidup pun sendiri-sendiri. Nggak ada yang salah sih selama tidak melanggar hukum.
Ada yang mendekat ke lingkar kekuasaan agar mendapat akses ekonomi, politik, dan sosial untuk memperpanjang napas lembaga. Beberapa menggantungkan harap ke yayasan swasta maupun luar negeri agar mampu meneruskan rencana. Sementara beberapa rupa lain menghadapi realita sesuai kemampuan tetapi tidak menepikan berbagai kemungkinan, dengan kata lain meminjam semangat stoik untuk menjalankan tiap misi yang disepakati.
Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ) satu di antara ruang penting dalam perfileman Jogja. Ruang belajar berpikir kritis yang mencuri perhatian sejak kali pertama memancang nama ini punya gaya yang cenderung sederhana sekaligus mengedepankan ikhtiar. Para perintis FFPJ menyisihkan uang pribadi dari kerja-kerja lain agar festival yang menjadi ruang silaturahmi para pegiat film yang masih duduk di bangku sekolah itu tetap berjalan. Para peserta yang mengikuti festival juga banyak membantu dengan membeli tiket atau merch. Mereka memahami betul FFPJ adalah ruang yang harus dirawat bersama.
"Tetapi kami juga tidak menepikan berbagai kemungkinan misalnya ada sponsor. Kalau soal sponsor ini kami lebih banyak barter sebenarnya, dia punya apa kami punya apa. Misalnya saja seperti yang terjadi belakangan ini kami didukung sama salah satu kampus yang mempersilakan kami menggunakan fasilitas untuk menghelat festival," beber Tomy Taslim, salah seorang perintis FFPJ.
Sejak penyelenggaraan pertama di tahun 2010, FFPJ kental dengan suasana silaturahmi, belajar bersama, dan berbagi. Festival nggak hanya diisi dengan pemutaran film saja. Para pelajar yang kebanyakan masih bergulat dengan dunia SMA, guru-fasilitator, dan pemangku kepentingan lainnya berkumpul, berkenalan, saling bertukar pengetahuan, serta berdialog. Sederet program yang dibuat dalam festival punya satu tujuan: membingkai pelajar agar berpikir kritis.
12 tahun mereka melakukan kerja-kera kebudayaan. Sepanjang itu, gengs, yang paling keren dari FFPJ adalah mereka nggak terjebak dalam sistem sosial di Jogja seperti lahirnya perilaku feodal. Artinya mereka nggak berpikir tentang ukuran-ukuran film harus begini atau begitu. Nggak peduli sebesar apa pencapaian sehingga minta dihormati setelah meninggalkan jejak kebudayaan yang cukup penting bagi sineas muda wabil khusus para pelajar.
"Kami enggak tahu bagaimana pencapaiannya, yang penting menghidupi ruang ini agar bisa terus digunakan bersama. Jogja itu asyik sebenarnya, kita bisa bebas tanpa beban bikin film. Nggak harus ada ukuran-ukuran harus begini atau seperti film itu. Soal adanya circle tertentu, ya kapan-kapan kita membongkarnya," tandas Tomy Taslim.
Bagaimana wajah baru itu bertahan di tengah gempuran zaman, apalagi di era digital, saat tiap orang dituntut berpikir cepat di tengah ruang-ruang digital adalah persoalan lain. Apalagi saat pandemi yang memperlambat perputaran uang produksi dalam berkesenian. Strategi untuk bertahan hidup pun sendiri-sendiri. Nggak ada yang salah sih selama tidak melanggar hukum.
Ada yang mendekat ke lingkar kekuasaan agar mendapat akses ekonomi, politik, dan sosial untuk memperpanjang napas lembaga. Beberapa menggantungkan harap ke yayasan swasta maupun luar negeri agar mampu meneruskan rencana. Sementara beberapa rupa lain menghadapi realita sesuai kemampuan tetapi tidak menepikan berbagai kemungkinan, dengan kata lain meminjam semangat stoik untuk menjalankan tiap misi yang disepakati.
Festival Film Pelajar Jogja (FFPJ) satu di antara ruang penting dalam perfileman Jogja. Ruang belajar berpikir kritis yang mencuri perhatian sejak kali pertama memancang nama ini punya gaya yang cenderung sederhana sekaligus mengedepankan ikhtiar. Para perintis FFPJ menyisihkan uang pribadi dari kerja-kerja lain agar festival yang menjadi ruang silaturahmi para pegiat film yang masih duduk di bangku sekolah itu tetap berjalan. Para peserta yang mengikuti festival juga banyak membantu dengan membeli tiket atau merch. Mereka memahami betul FFPJ adalah ruang yang harus dirawat bersama.
"Tetapi kami juga tidak menepikan berbagai kemungkinan misalnya ada sponsor. Kalau soal sponsor ini kami lebih banyak barter sebenarnya, dia punya apa kami punya apa. Misalnya saja seperti yang terjadi belakangan ini kami didukung sama salah satu kampus yang mempersilakan kami menggunakan fasilitas untuk menghelat festival," beber Tomy Taslim, salah seorang perintis FFPJ.
Sejak penyelenggaraan pertama di tahun 2010, FFPJ kental dengan suasana silaturahmi, belajar bersama, dan berbagi. Festival nggak hanya diisi dengan pemutaran film saja. Para pelajar yang kebanyakan masih bergulat dengan dunia SMA, guru-fasilitator, dan pemangku kepentingan lainnya berkumpul, berkenalan, saling bertukar pengetahuan, serta berdialog. Sederet program yang dibuat dalam festival punya satu tujuan: membingkai pelajar agar berpikir kritis.
12 tahun mereka melakukan kerja-kera kebudayaan. Sepanjang itu, gengs, yang paling keren dari FFPJ adalah mereka nggak terjebak dalam sistem sosial di Jogja seperti lahirnya perilaku feodal. Artinya mereka nggak berpikir tentang ukuran-ukuran film harus begini atau begitu. Nggak peduli sebesar apa pencapaian sehingga minta dihormati setelah meninggalkan jejak kebudayaan yang cukup penting bagi sineas muda wabil khusus para pelajar.
"Kami enggak tahu bagaimana pencapaiannya, yang penting menghidupi ruang ini agar bisa terus digunakan bersama. Jogja itu asyik sebenarnya, kita bisa bebas tanpa beban bikin film. Nggak harus ada ukuran-ukuran harus begini atau seperti film itu. Soal adanya circle tertentu, ya kapan-kapan kita membongkarnya," tandas Tomy Taslim.
Instagram: