Perubahan Ruang yang (Harus) Direspon Pemerintah
Ruang pemutaran film di Jogja tumbuh subur pasca reformasi. Hampir tiap kampus punya komunitas atau unit kegiatan yang melakukan pemutaran. Di luar institusi, pertumbuhannya juga massif. Hampir tiap hari juga gengs pengendara menemui poster-poster berukuran A4 yang didesain sederhana di papan pengumuman kampus, mading sekolah, sampai tiang lampu merah.
Di awal-awal 2000an ruang-ruang yang muncul itu punya posisi penting. Di sanalah para sineas muda mempresentasikan karya mereka. Di sana pula ideologi atau pandangan mereka yang dituangkan dalam film dikuliti. Ruang-ruang itu lebih bebas, tidak terikat dalam struktur atau birokrasi yang ribetnya naudzubillah. Nggak ada sesuatu yang absolut di sana.
Tapi gengs, nggak ada yang benar-benar abadi di dunia ini. Begitu juga ruang-ruang pemutaran alternatif itu. Pasca tutup tirainya Kinoki menyusul ruang pemutaran lainnya di awal dekade 2010an, ruang pemutaran sekaligus diskusi yang mengedepankan literasi mulai jarang. Saat itu pula para sineas dan pegiat film Jogja yang dibesarkan ruang-ruang alternatif itu geser lalu mulai nyaman di industri.
"Konteks perfileman di Jogja pasca Kinoki tidak ada lagi yang bikin pemutaran reguler, sekitar 2012-2015 kalau nggak salah. Andalannya ya kampus tetapi nggak tiap waktu atau sebulan sekali. Malah enam bulan sekali," kenang Reza Fahriansyah, sineas sekaligus salah satu penggagas Sewon Screening.
Ada pula yang berubah bentuk menjadi festival yang didukung kekuatan finansial dan jaringan. Festival macam JAFF atau Festival Film Dokumenter (FFD) secara organik menjadi ukuran sukses atau tidaknya film yang dibuat sineas. Bikin film tidak lagi sesederhana dulu. Bikin film tidak lagi sekadar refleksi pemikiran kritis tetapi lebih besar dari itu. Namun nggak setiap film bisa diputar di sana. Proses kurasinya ketat.
Di luar ruang alternatif, bioskop dikuasasi segelintir orang. Hanya para sineas dengan nama besar yang bisa menembusnya. Di luar itu bioskop dijejali film-film luar negeri dengan promosi yang memikat. Padahal produksi film dalam negeri, khususnya anak-anak Jogja terus mengalami pertumbuhan.
Era sekarang, dengan segala kemudahan akses dan teknis persoalannya bukan lagi tentang bagaimana membuat, melainkan berpikir akan disebarluaskan ke mana film-film tersebut. Munculnya platform digital juga tidak banyak membantu karena logika yang dikedepankan sama dan semakin membikin sineas saling sikut berebut ruang baru itu. Tidak heran bila para sineas yang baru punya kapal perang menggantungkan harap pada festival-festival agar film atau karyanya dikenal.
Reza menangkap itu. Sutradara 'Dancing Colours' itu melihat ada peluang yang bisa digarap pemerintah dari realita kekinian. Misalnya saja membikin bioskop yang terkelola dengan baik agar film-film sineas muda tidak mangkrak usia diputar di festival atau ruang diskusi. Selain itu tiap karya juga punya nilai ekonomi dan pasarnya sendiri-sendiri.
"Ekosistemnya Jogja sudah ada. Tetapi, yang belum dicapai oleh Jogja dalam perkembangan filmnya, yang belum itu ada mislanya absennya distributor. Menjadi ideal ketika seluruh ekosistemnya benar-benar ada dan nyata. Baik itu bioskop yang dimiliki pemerintah yang menayangkan karya sineas lokal, biar bisa hidup juga di film," tandasnya.
No comments: