Politik Dinasti Bikin Perfileman Jogja Jalan di Tempat
1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978, 1998.
Deretan angka-angka itu bukan nomor buntut loh Gengs. Itu adalah deretan tahun di mana anak-anak muda Indonesia mengubah wajah republik. 1908, mahasiswa Indo di Stovia yang antimager-mager club bikin Boedi Oetomo, organisasi perjuangan pertama dengan struktur modern.
1928 pelajar-pelajar Indonesia bikin propaganda Sumpah Pemuda. 1945, geng Rengasdengklok mempercepat proklamasi kemerdekaan. Kalau enggak ada mereka, wah bisa berbelit-belit itu golongan tua macam Sukarno dan Hatta memproklamirkan kemerdakaan.
1966 lahir demonstrasi damai menuntut perbaikan politik dalam negeri. Sekalipun ada indikasi para mahasiswa ditunggani militer untuk menggulingkan Sukarno, hal-hal macam itu nggak mengecilkan peran mereka bikin perubahan. 1974, Hariman Siregar dan kawan-kawan bikin demo serupa, menuntut Orde Baru (Orba) benar-benar mikirin rakyat daripada investor Jepang. 1998 ribuan anak muda menjatuhkan Orba.
Anak muda nggak hanya penting untuk gerakan politik. Di ruang yang lain mereka sama pentingnya. Dunia seni misalnya. Anak muda selalu memberi angin segar. Ide-ide liar diikuti taktik dan strategi yang menembus ketidakmungkinan. Namun, dalam realita kekinian, orang-orang tua di komunitas, kolektif, atau institusi film kerap mengabaikan mereka. Ini terjadi di mana saja, Jogja juga.
Soe Gok Gie, aktivis serba bisa yang diperankan Nicholas Saputra dalam film "GIE" garapan Riri Riza itu pernah sebal bukan main terhadap feodalisme yang memosisikan kaum muda seperti bayi di Jogja: tidak tahu apa-apa. Rasa sebalnya itu ia tulis dalam catatan harian yang sekarang jadi buku wajib baca di kalangan aktivis: "Catatan Seorang Demonstran".
Di FS Gama dosen adalah dewa dan asisten adalah pahlawan yang harus dihormati. Suasana tertutup dan komunikasi yang kurang membuat feodal tambah kuat. -Soe Hok Gie-
Kemuraman itu enggak hanya ditemukan di lingkup akademis dan aktivis, di dunia film Indonesia, Shalahudin Siregar punya banyak contoh kasusnya. Jangankan kesempatan, anak-anak muda hanya dilihat sebagai buruh dan kerap mendapat perilaku tidak pantas.
“Setelah JAFF mulai, ada hegemoni beberapa orang (bisa disebut dinasti) agak nggak sehat untuk Jogja. Ada anak muda yang mau berkembang tapi susah. Regenerasi jalan sendiri-sendiri, enggak salah sebenarnya, tapi buatku penting juga institusi besar membuka diri terhadap generasi di bawahnya dengan sistem yang lebih terstruktur dan bisa diakses siapa saja," bebernya pas ngobrol santai sama anak-anak film YK48.
Frasa 'membuka diri' dipersempit dengan contoh lain. Ditutupnya Akses dan monopoli jaringan kerja, kata kritikus sekaligus film maker itu contoh lain betapa naasnya nasib anak muda sekarang. Banyak anak muda yang rela menjadi volunteer festival film tidak diberi kesempatan berkembang. Padahal mereka nge-volunteer ingin belajar banyak hal di luar produksi film. Kekolotan itu bikin banyak festival film nggak berkembang, diam di tempat. Sudah nggak dapat kesempatan, ada yang mendapat pelecehan seksual pula. Gendeng!
“Monopoli resourches itu yang paling kental. Ditambah feodalisme, banyak kesalahan orang-orang yang mengurus festival itu menjadi kewajaran sehingga tidak lagi menjadi ruang aman,” tandas Shalahudin.
No comments: