Dokumenter Naik Daun, Jangan Ngambek Saat Dikritik


Golden age of documentary
. Begitu orang-orang bilang tentang zaman ini Gengs. Masa di mana streaming platform dengan ragam kontennya adalah teman terintim anak-anak muda. Hanya bermodal internet dan langganan , anak-anak muda sekarang bisa nonton apa saja, kapan, dan di manapun mereka mau. Enggak perlu rebutan saluran TV seperti 20 atau 30 tahun lalu sama orang tua.

Kita mau nonton Jiban, eh ngepasin banget sama aerobiknya Berty Tilarso. Kita mau mantengin cute-nya Brandon Walsh dalam Baverly Hills 90210 eh ngepasin sama Dunia dalam Berita yang wajib ditonton orang tua. Sekarang bebas, streaming di ponsel pas boker juga bisa, tanpa gangguan sedikitpun. Canggih kan ya? 

Film dokumenter, salah satu konten yang naik daun. Film maker Indonesia yang berani bikin dokumenter juga makin banyak. Tambah film maker berarti produksinya tambah. Dari data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirangkum Kata Data lalu diunggah 15 Desember 2021 kemarin, ada 3.423 produksi film di Indonesia pada 2020. Sepanjang tahun gelap itu ada 289 film layar lebar, 206 film pendek, dan 168 film dokumenter yang diproduksi. Rata-rata disebarkan melalui platform streaming digital.

Situasi sekarang memang beda banget seperti dua dekade lalu. Bukan hanya soal perpindahan medium saja. Sekarang sudah banyak sekolah atau universitas yang punya jurusan film. Enggak heran banyak film maker lahir setelah menempa banyak jurus di Universitas yang punya jurusan film. Mereka juga melewati banyak peristiwa, ratusan diskusi dan diskursus, serta mengupas ribuan film. Sayangnya, pertumbuhan itu nggak dibarengi dengan massifnya kritik film, terutama di ruang dokumenter.

Dwi Sujanti Nugraheni, penerima Artist Fellowship dari Asian Cultural Council di New York  2009 untuk mengamati industri film, termasuk pendanaan dan distribusi itu melihat film dokumenter di sekolahan masih jadi pilihan. Seharusnya dokumenter diajarkan di semester pertama.

"Padahal kalo berangkat dari dokumenter dulu, bisa belajar riset. Ya riset karakter, riset apa riset itu. Fiksi mungkin bisa jadi lebih bagus. Harusnya mulainya dari pendidikan dulu, setidaknya satu semester pertama itu dokumenter, baru selebihnya ke fiksi," kata Heni.


Gaya sekolah film di Indonesia memang beda dengan Eropa yang mengawali semester awal dengan dokumenter. Di Jerman misalnya, sebelum ke fiksi, anak-anak film diarahkan ke dokumenter dulu selama dua tahun. "Film maker dunia sebagian besar awalnya bikin dokumenter dulu," tandas Heni.

Nah bertumbuhnya jumlah film maker dan produksi juga harus diiringi dengan kritik film. Saat ini belum banyak ruang untuk kritik film gitu. Kritik film tidak boleh lenyap dan film maker juga jangan antikritik. Jangan ngambekan karena kritik itu sendiri prinsipnya adalah apresiasi.

"Tidak hanya resensi ataupun review saja. Kritik bisa dimuat dalam berbagai bentuk, bisa website seperti Jurnal Footage maupun Cinema Poetica atau zine. Mungkin di sekolah-sekolah film punya media mahasiswa yang bisa memberikan ruang untuk kritik film seperti itu," sambung Anita Zein, koordinator program FFD 2021.

No comments:

Powered by Blogger.