Sudah Setengah Kopling, Mulai Panas dan Liar*
Kamis, 7 November 2024
Halaman Tutbek
Kamis, hari-hari nanggung para penggiat harian tak sabar menuju sabtu. Meeting kembali diadakan, ya seperti rapat, setidaknya bertemu menjaga keserasian. Berpindah lokasi kali ini, ke markas pehagengsi. Merebaknya potongan kain, juga totebag produksian sang penanggung jawab acara. Nampak, sang kurator menatap layar tak karu-karuan. Calon pameris yang kongkow di halaman, pemandangannya seperti cah kolektif merumuskan gebrakan. Nge-gim, diam saja, hingga yang bengong juga ada seperti episode kemarin. Pada pertemuan pertama, aksi-aksinya calon pameris tak begitu banyak. Mereka masih meraba-raba bagaimana mereka mematangkan diri. Yoga bak guru hari kemarin. Namun hari ini, selang dua hari, mereka datang dengan asumsi dan ide yang ambisius.
Beberapa darinya mengulik-ngulik map arsip dengan sumringah. Entah berapa kalo sudah mereka bolak-balik itu halaman. Semoga cepat bertemu dengan ilham-ilham artistik. Saya, datang ingin mencatat dengan ekspektasi keseriusan tingkat tinggi pada awal. Namun bertemu dengan hiruk pikuk semua orang mencari kunci motor yang hilang. Suatu permulaan yang mengkhawatirkan. Nopal mulai mempersiapkan medan perang kami, mengapa medan perang, ya karena nanti kami akan adu pukul dengan asumsi dan gogon sinema dengan panas. Meeting nya terasa rapat warga, sederhana, hangat, dan cemal-cemil dikit. Dengan karpet, air putih, dan keripik yang godaannya tinggi. Kali ini, komposisi bertambah. Mas Jati dari Cinemartani dan Mas Desta dari MusikJogja turut datang, duduk diatas, mengintai pergerakan bocah-bocah. Juga ada syam, seorang art handler dari Jakarta. Yang akan membantu pembangunan instalasi. Ia mengikuti meeting via daring.
Yoga tak banyak cakap pada meeting, Ia langsung melempar pada kelompok yang mereka beri nama dengan nama bioskop asal Yogyakarta. Seperti Rahayu, Empire, dan Capitol. Sudah ngapain saja mereka-mereka setelah lewat pertemuan pertama. Unit Rahayu yang beranggotakan Bandera, Dzakwan, dan Bayu menjawabnya, dengan tegas mereka sudah punya bayangan visual. Suatu kanvas kosong, yang akan ditembaknya oleh proyektor bermuatan stop motion dengan objek alat syuting. Dasarnya adalah, mereka ingin mencatat kritik apa saja yang muncul. Setelah satu kelompok rahayu menjadikan arsip sebagai pisau bedah komparasi, terhadap realita sinema hari ini. Seperti relasi terhadap generasi atas, kreatifitas, serta dedengkot yang sok eksklusif. Sebagai generasi yang lihai mencari informasi. Mereka coba mengurutkan fenomena-fenomena yang tidak selaras jika diturut melalui skema perkembangan. Memantau lontaran ide anggota Rahayu, terasa ada ketidakpuasan akan stagnasi dalam arena akar rumput.
Empire turut menginjak pedal gas. Beranggotakan Jidan, Rais, dan Fredy. Sedikit mirip, namun mereka berfokus pada penciptaan rasa dan pengalaman. Dipantik dari komparasi media lawas dan kebaruan. Mencipta kontras pada karya mereka esok. Untuk memperlihatkan sejauh mana ilmu-ilmu yang tumbuh dapat memengaruhi kekaryaan seorang seniman. Dengan komparasi dan nostalgia, mereka mencoba menghadirkan karya dengan penyilangan teknis. Dimana memutarkan film-film baru, dengan alat yang jadul. Dalam upaya melakukan pembacaan terhadap audiens yang diputarbalikan waktunya oleh karya mereka. Selain itu, lagi-lagi eksklusifitas menjadi momok yang diperhatikan. Anggapan individualis hadir terang-terangan dengan cerita personalnya dengan kakak tingkat. Membangun kerangka kerja mereka untuk melabrak konsep-konsep independen yang sudah sedikit hilang kata mereka, terutama dalam ranah akademik kampus. Arsip menjadi ladang mereka mencari cerita-cerita dan macam kecenderungan untuk mereka jejalkan pada pemain-pemain hari ini.
Kelompok Capitol cenderung pada skema pencarian yang lebih luas. Kecenderungan generasi menghasilkan ciri dan gaya coba mereka pahami. Rhiksa, Dhiyas, dan Akmal ingin melakukan komparasi dengan dengan aji-ajian sekarang, dengan maksud alat yang canggih. Terutama pada area pikir trend, yang dipengaruhi oleh dampak-dampak sosial, ekonomi, hingga politik. Secara tak langsung, narasi dan visual yang dihasilkan oleh seniman-seniman sebelumnya dapat hadir karena kondisi sekitarnya. Dalam konteks program, area film 2000-an penuh dengan aspirasi para macan keluar kandang. Setelah reformasi, keluarlah semua pikiran-pikiran nakal nan konseptual. Secara bayangan artistik kekaryaan, mirip dengan Empire perihal teknis lawas dan baru. Namun, Capitol berfokus pada segala hal apa saja yang memengaruhi para pembuat film era 2000-an dengan yang sekarang. Dalam rangka melakukan pembacaan kompleksitas apa yang terjadi dalam proses terciptanya citra dan rona dalam film. Sejauh penangkapan saya, paparan mereka ambisius, namun sulit dibayangkan. Akan seperti apa arsip-arsip film 2000-an ini diartikulasikan oleh para calon pameris. Sudah terlihat hilal kritisnya, semoga perencanaannya berjalan dengan semestinya mereka.
Inilah titik didihnya, ketika ada dua calon pameris yang berucap. Arsip sedikit disingkirkan hari itu. Fokus pada diskusi dan keliaran sambung menyambung pengetahuan dan akal berpikir. Pancingan heboh pertama, "kalau saya masih di kampus akan masih suram, idealisme yang ngaco, gak semua kuat akan sang perfeksionis”. Diucapkan dengan kesal, ekspresif, seperti bersumpah serapah. Ceritanya berdebat, mengejar suatu bayangan artistik, namun apa daya tak sampai-sampai hingga berhenti produksi. Muatan ceritanya sangat cetek, wajarnya para mahasiswa berdebat dan saling serang. Masa-masa itu juga pasti sudah diludahi dan ditertawakan oleh yang sudah melewatinya. Kita hargai saja semangat melawannya, etos yang apik untuk menembus keterbatasan. Pendapat kedua lebih kritis pada sistem dan kebiasaan. Yaitu “Gelar karya di kampus hanyalah debat teknis belaka, tak ada perbincangan akan makna dan narasi”. Keresahan yang lucu, mengingat ruangnya akademis, jadi kekhawatiran akan relevansi. Apakah kesenian hanya berhenti di teknis melulu, lalu cepat kalah dengan modal-modal yang mampu mendatangkan sensor penuh canggih masa kini.
Dalam konteks kesenian, terutama seni kontemporer. Kontekstualitas menjadi senjata utama dalam memberikan pemahaman akan suatu karya. Seni menjadi lebih berdampak daripada suatu yang adiluhung, tak bertumpu tangan pada mata yang memandang estetika. Namun, gagasan dan bagaimana sang seniman melihat potensi sentimental menjadi lebih kuat diperbincangkan. Pastinya erat dengan visual, yang ketika didiskusikan akan menjadi suatu keterkaitan yang ciamik. Teknis juga penting, namun seniman sudah seharusnya diberkati itu, bakat dari tuhan, dalam bentuk apapun. Mereka yang bersekolah seni sudah mengalahkan dan membuat menangis para lulusan sekolah menengah yang berharap-harap. Percuma saja jika teknis dan pertukangan menjadi tombak utama dan satu-satunya yang diperhitungkan. Tidak melihat potensi rasa, gagasan, makna, dan pola pikir seorang calon-calon seniman. Keseimbangan antara suatu hal yang penuh pikir dengan kepiawaian artistik rasanya akan menghasilkan karya seni yang hebat sekaligus berdampak pada sekitarnya.
Tak hanya pameris dan panitia. Ada mas Jati, dari pihak cinemartani. Ia tak sabar kepo akan hasilnya, sekaligus khawatir dengan keseragaman, ingin ada ragam perspektif. Tak ingin terkungkum dalam pencitraan arsip menuju karya yang sudah ada. Harapannya, perkumpulan ini mendatangkan perspektif baru nan meledak. Sudah seharusnya begitu, buat apa gelontoran dana ini datang dan diserap, jika tak menghasilkan gebrakan. Itulah beban sekaligus tantangan calon pameris. Menjadi seniman, memproduksi sudut pandang dan ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi khalayaknya. Lain lagi dengan mas Desta. Ia seperti datang sebagai gerbang, menuju sudut pandang yang lebih jauh, melalui pengalamannya pada komunitas. Setiap dirinya berkata, Desta selalu membuka cakrawala referensi akan 2000-an yang lebih politis dan kritis. Bisa dibilang, apa yang diceritakan oleh Jati dan Desta tak bisa dirasakan oleh calon pameris yang rata-rata Gen Z. Seperti memori reformasi, gebrakan-gebrakan kekaryaan, bentuk-bentuk represifitas, hingga kisah-kisah praktik langsung pada disiplin mereka masing-masing.
Lontaran liar tersebut, mempertontonkan mereka sudah panas. Entah panas hatinya kesal, atau tak sabar memanaskan tungku memasak arsip. Sesi diskusi menjadi ruang aman, bagi mereka-mereka yang resah, sedikit dongkol dengan turun-temurunnya yang tidak masuk akal. Bak membaca sejarah seni, saling menentang, muncul yang baru. Entah berapa kali sudah diteriakan kata “Lawan!” di halaman Pehagengsi. Melawan siapa pun tak begitu paham, pastinya mereka ingin mendobrak, sudah rekat dan merasa aman dalam kelompoknya. Mereka mahasiswa, standarnya berhadapan dengan kakak-kakak senior yang asumsinya lihai memainkan bagiannya. Para calon pameris seperti cocok ketika berbincang akan itu. Ceritanya sih standar sekali, tak spesial. Yakni adek-adek kuliah yang diberdayakan para senior masa tugas akhir untuk bantuin dengan ikhlas. Itu terjadi dari sekian banyak kalangan dan generasi, dan calon pameris yang rata-rata mahasiswa tahun ketiga. Terdengarlah sambatan itu pada telinga Mas Jati, sang senior dari Cinemartani. Terlihat dari kebijaksanaannya, Ia seperti sudah merasakan asam garam dunia film dari tidak enak sampai yang lebih tidak enak lagi. Jati seperti mempertanyakan, mengapa realita adek-adek tak dibayar ini tetaplah hidup pada mereka. Ditengah huru-hara kampanye produksian sehat, kampus-kampus film masih merasakan ketidak karuan ditengah represifitas kakak tingkat.
Salah satu calon pameris berpendapat, bahwa fenomena tersebut merupakan rantai, yang sulit diputus. Mungkin saja akan dapat selesai dengan kemapanan dan rekening gendut. Mereka yang protes hari ini di halaman Pehagengsi bersama keripik pun akan menjadi sang calon sarjana, dan tak menutup kemungkinan melakukan kebodohan yang sama. Sangat dilematis, melihat ongkos yang kian mahal, kebingungan dengan siasat-siasat apa yang harus dilakukan. Tipikal Gen Z, tsunami informasi membawa mereka pada kebingungan akan solusi. Referensinya luas, namun tak paham apa langkahnya. Sehingga diskusi tersebut hanya berputar apa solusi keajaiban. Seperti ucapan salah satu panitia, “Apakah kita dikuasai kepentingan festival dan Dana Indonesiana”. Suatu lemparan yang sentuhannya nyata, apalagi bagi para medioker yang tengah mencari jati diri dengan mengagung-agungkan pasar.
Media memainkan peran penting hari ini. Sebagai ladang informasi, entitasnya seperti tanpa batas, cepat dan tak butuh pendalaman. Membuat generasi kehilangan kritisnya, karena direduksi oleh sifat-sifat media yang mengedepankan “tau” daripada “paham”. Globalisasi juga mendorong pasar menjadi dekat, tak terhingga. Dahulu, susah payah harus dilakukan, berdarah-darah. Hari ini, realitanya adalah pasar turun dengan senyuman hangat. Membuat muda-muda yang haus, langsung naik, meninggalkan esensi, bahkan rasa artistik demi kemauan pasar yang sederas air terjun. Menjadi ironi sendiri dalam seni, kebebasan menjadi hilang. Bukannya terbatas, namun menjadi seragam, seperti kampus guru zaman dulu. Sehingga otentik menjadi mahal, bahkan sulit ditemukan. Kegilaan artistiknya tak muncul lagi, kulit saja yang mereka ketahui, tanpa paham konteks dan situasi. Semoga para calon pameris dapat melihat fenomena tersebut, dengan sadar dan nyata. Arsip menjadi ladang mereka mencari kembali fungsi, esensi, dan pola pikir dalam arena penciptaan film yang terus berkembang.
Kombinasi Arsip, senior, junior, dan tukar cerita menghasilkan situasi diskusi yang alot sekaligus menjadi ajang perbandingan. Dalam konteks program, memudahkan calon pameris yang akan mencipta karya dengan basis arsip. Seharusnya mereka luwes dan berani, sudah diberi narasumber yang lumayan valid. Harus dimanfaatkan sebaik mungkin, namun tak boleh menjadi sama, dobrakan lah yang ditunggu. Pola pikir dan pengalaman kolektif para seniornya secara tidak langsung menjadi materi. Akan disejajarkan dengan realitas hari ini. Serta menjadi bahan yang akurat menuju pengolahan arsip yang diharapkan. Setidaknya, memancing mereka untuk lebih nakal dan atraktif dalam aktualisasi karya mereka. Ngalor-ngidul kali ini sangatlah pecah, namun mereka belum menyentuh tahap eksekusi sama sekali. Putar-putar saja dalam kolam pengetahuan, tanpa percobaan menuju kematangan. Pembukaan pameran semakin dekat, sepuluh hari dari tulisan ini ditulis. 20 November akan menjadi pembuktian mulut besar mereka, apakah bakal ciamik protesnya, atau ternyata hanya mahasiswa medioker yang baru saja dapat tempat.
Sleman, 9 November 2024
_
TRACINEMABILITY 2000.24 adalah program yang mempertemukan generasi sineas muda dengan arsip-arsip perfilman yang diinisiasi oleh Cinemartani. Berkolaborasi dengan pelaku film muda dari kampus ISI, JFA, UMY, dan UIN. Para calon pameris akan berproses selama tiga minggu lebih untuk menghasilkan karya berbasis arsip yang akan dipamerkan pada 20-27 November 2024 di Galeri Kelas Pagi Yogyakarta.
*Catatan Proses menuju pameran TRACINEMABILITY 2000.24 (2)
_
Pehagengsi; Alter\Native
Pehagengsi powered by Mergo Konco Studio
No comments: