Posisi Fajar Nugros dalam Kronik Nekad Dunia



Gengs..Gengs..

Sebaiknya sejarawan mulai mencatat kronik nekat dunia. Andai orang-orang tak nekat membacakan puisi Pablo Neruda saat berziarah di tengah kepungan tentara Jenderal Pinochet, barangkali ia hanya diingat sebagai penyair saja, bukan martir.

Bila Mishima dan para muridnya nggak nekat mengantar nyawa ke pos militer di jantung Jepang, barangkali negara itu sudah barat 100 persen. Jika geng Rengasdengklok nggak menculik Sukarno dkk, mungkin 17 Agustus tidak akan tercatat sebagai hari kemerdekaan Indonesia.

Beragam peristiwa itu adalah bukti bahwa diam tak selalu emas. Kebijaksanaan bukan pilihan terbaik ketika hidup dihadapkan berbagai persoalan. Kenekatan, suka atau tidak suka harus diakui faktor yang membuat anak-anak muda menciptakan masa depan. Dunia film juga banyak orang-orang nekad yang sukses besar mengubah kultur.

Andai Fajar Nugros tak membelot zaman, barangkali nasib film pendek selesai di lemari akademis. 

Awal tahun 2000an Fajar Nugros masih jadi 'anak bawang' di dunia film. Jogja waktu itu bingar dengan pemutaran film pendek dan dokumenter di ruang-kampus dan komunitas. Sineas juga lagi girang bikin screening lalu diskusi di ruang-ruang kolektif. Fajar dan kawan-kawan Buldozer yang tiap malam minggu merasa dikutuki Ahasveros tiba-tiba punya ide gila: bikin film lalu memutarnya di bioskop.

Yang lebih gila lagi Fajar Nugros memikirkan publikasi dan perut teman-temannya. Dipakailah modal sosial (baca: ngutang dulu) buat cetak banner, spanduk, poster lalu dipasang di banyak titik. Penonton yang datang lewat terkelolanya publikasi itu mencapai 500.

Mereka berduyun-duyun datang ke bioskop Mataram. Padahal filmnya itu diputar pagi hari, bukan prime time. Padahal bioskop kala itu masih jadi mimpi sebagian sineas muda. Bioskop terasa jauh sekali karena hanya memutar film-film Hollywood atau Hongkong.

Kelok Fajar Nugros itu tidak populer di masanya. Bisa dibilang dia adalah sineas yang cukup Ngindie waktu itu karena bioskop bukan pilihan dalam memutar film pendek atau dokumenter. Tapi kenekatannya itu membuktikan bahwa bioskop, semenjemukannya film, adalah medium yang tepat untuk memperluas penonton sehingga apresiasi karya lebih kaya. Impresi pun bebas sekalipun jatuhnya ontologis: baik-buruk, jelek-bagus, penting-nggak penting.

No comments:

Powered by Blogger.