Adakah Film yang Jogja Banget?

Gengs...

Kota seperti Jogjakarta disandera banyak streotipe menyebalkan yang melahirkan banyak ukuran lalu membatasi kreativitas. Di arena permusikan, istilah Jogja Invasion yang diperkenalkan media saat banjirnya band-band Jogja ke industri musik awal 2000an membidani nilai-nilai baru. Jogja Sound contohnya. Banyak kalangan bilang gaya permusikan di Yogyakarta itu beda dengan kota lain. Ada ciri khasnya, meski sampai sekarang ciri itu terlampau abstrak didefinisikan.

Kabar buruknya ya ada band-band yang dituduh nggak Jogja banget gara-gara bikin karya yang jauh dari rasa kira-kira itu. Tuduhan macam, 'ini musiknya nggak Yogya banget' atau 'Jakarta banget deh' masih beredar.

Di film kurang lebih begitu. Banjirnya film-film bikinan sineas pasca reformasi sampai sekarang juga melahirkan streotipe itu. Ada film yang disebut Jogja banget. Penelitian Dominic Strinati, sosiolog University of Leicester dalam 'Popular Culture' sedikit menjawab sebab kenapa streotipe itu bisa tersemat. Dominic menuliskan bahwa budaya pop adalah lokasi pertarungan nilai-nilai yang terbentuk dan beredar di masyarakat. Film sebagai produk budaya populer, merekam nilai-nilai yang beredar sekaligus mengendap di kepala sineas.



Kenapa bisa mengendap? Ya karena sineas juga individu yang tumbuh karena nilai-nilai itu. Nah di lain sisi, sineas punya referensi atau pengalaman di luar nilai yang beredar. Misalnya saja referensi dalam pembuatan film sehingga pandangan yang lahir di luar komunitas sosialnya turut hadir dalam film yang dibuat. Sutradara, penulis skenario, sekaligus produser Ifa Isfansyah coba mengumpulkan fragmen-fragmen yang melahirkan streotipe itu.

Ifa bilang fragmen pertama yang kerap hadir adalah cara sineas menyampaikan cerita. Khas banget cara turur di Jogja yang lambat, alur juga bertempo lambat. Lalu cerita yang ditampilkan nggak jauh dari kehidupan desa, kompleks perumahan, kampung dan lain sebagainya. Musiknya juga merefleksikan mood sesuai visual yang ditonjolkan.

"Tapi sebenarnya ada benturan. Misal, teman-teman yang mahasiswa yang membat film di generasi setelah saya. Kalau di generasi saya kelihatan itu dari mana nilai lain itu hadir. Kami lebih nyaman cari referensi pembuat film Asia. Pas zaman belum ada festival, referensi itu kami dapatkan di rental VCD. Nah, setelah muncul film festival kita lebih nyaman menonton film-film di luar itu," kisah Ifa.

Dyna Herlina, peneliti, akademisi, sekaligus penulis buku "Krisis dan Paradoks Film di Indonesia punya temuan lain tetang film yang disebut Jogja banget itu. Dyna bilang ada kesamaan dari sekian banyak film berlatar belakang dan sosial Jogja dalam tujuh tahun terakhir terutama yang diproduksi institusi perpanjangan tangan negara. Konflik dalam alur cerita nggak dipertentangkan dengan tajam. Tensinya nggak tinggi. Banyaknya kesamaan itu melahirkan streotipe tentang film bikinan anak-anak Jogja.

"Konflik diselesaikan secara manusiawi. Caranya? Tidak menyalahkan, kedua belah pihak memberikan kontribusi kesalahan atau solusinya diberikan pada pihak ke-3. Penyelesaian (konflik) dibuat Jogja banget: harmonis. Konflik tujuannya mengembalikan keharmonisan, bukan menyelesaikan masalah,” beber akademisi yang melahirkan Rumah Sinema bareng kawan-kawannya itu.

Selalu ada orang-orang yang berupaya memecah streotipe yang telah membatu. Ifa juga punya contohnya. Dia menyebut Anggi Noen yang beberapa kali membuat film eksperimental sebenarnya adalah salah satu cara memisahkan diri dari streotipe itu. Ifa pada akhirnya juga berani bilang kalau mau disebut Jogja banget berarti sineas maupun filmnya belum mendapat perspektif dari kultur sinema yang lain.

"Defaultnya Jogja itu apa, Gandrik misalnya. Itu tuh refleksikan dari sana. Saya menunggu sesuatu yang sangat menceritakan sesuatu yang sangat dari Jogja dengan bahasa visual yang ditabrakkan. Kalau saya itu, yang paling saya support adalah keberagamannya aja," pungkas Ifa

No comments:

Powered by Blogger.