Gaya Konflik dalam Perfileman Bikinan Dinas

Gengs...

Satu-satunya yang dipunyai orang kecil di luar pagar istana sejak negara ini terbagi dalam banyak kekuasaan feodal adalah amarah. Namun orang-orang kecil itu baru bisa mengeluarkan amarah, yang cenderung bar-bar karena telah mengendap lama, sejak Geng Rengasdengklok memaksa Sukarno dan kawan-kawan mengibarkan bendera. Sebelum itu? Bah, mereka lahir tanpa lidah. Dipampas mimpi-mimpinya. Anak petani ya nyawah saja. Perempuan pelengkap para priyai, serupa keris kritik Pramoedya Ananta Toer dalam "Gadis Pantai".

Tepat setelah proklamasi dibacakan, orang-orang bersorak. Mereka merasa bebas dari belenggu yang terpasang sejak ratusan tahun silam. Mereka bisa berdiri dengan kaki sendiri. Bebas mau ngapain saja di tanah sendiri. Sorak itu, bercampur dengan amarah yang makin mendidih. Mereka tidak pernah lupa bagaimana para priyai, arsitokrat, Belanda, dan Jepang memperlakukan mereka seperti binatang. Revolusi sosial terjadi, mengingatkan pada pembantaian dan perang panjang yang kita kenal sebagai Geger Pecinan.  

para bangsawan dan pejabat pamong praja dibantai karena dianggap mendukung penjajah. 140 orang dibunuh, di antaranya begawan sastra Amir Hamzah. Sekitar akhir 1945 meletus kekerasan di Tegal, Pekalongan, dan Brebes. Sejarawan mencatat peristiwa itu sebagai Revolusi Tiga Daerah. Raden Ayu Kardinah, adik kandung Kartini dipakaikan karung goni lalu diarak karena dendam massa terhadap status keluarga. Pembangkangan bersenjata menunggangi kepercayaan terhadap ramalan Sang Ratu Adil muncul di mana-mana.

Ganti rezim, amarah itu belum reda. Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) contohnya. Demonstrasi besar-besaran itu mengubah wajah Orde Baru (Orba) menjadi bengis.


Gengs..
 
Ngomong-ngomong Orba, rezim itu punya pola pikir canggih banget. Mereka tahu kebengisan hanya akan mendatangkan amarah orang kecil. Pemberontakkan atau pembangkangan harus bisa dideteksi sedini mungkin. Keluh kesah orang kecil seperti sisa kunyahan kacang yang masuk ke lubang gigi: harus segera disingkirkan. Artinya konflik diminimalisir, tidak hanya menggunakan senjata dan granat, melainkan juga lewat cara-cara lembut. Misalnya lewat institusi pendidikan seperti sekolah dan acara-acara televisi macam Kelompencapir yang banjir gimmick.

Di Yogyakarta, produksi wacana antikonflik itu menyatu dengan budaya gagasan, contohnya pitutur atau wiwarah. Budaya gagasan ini sudah sukses membentuk perilaku dan cara pandang masyarakat Yogyakarta sejak Kraton masih menjadi episentrum pemerintahan. Pitutur atau wiwarah yang mulanya mendekam di dalam lingkungan para bangsawan menyebar ke luar dinding Kraton. Penelitian Abdul Muhaimin, anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta (DKY) dalam Jurnal Sosiologi yang diterbitkan Universitas Indonesia (UI) Vol. 15 Juli 2010 ngomongin itu di mana narasi-narasi kecil ini tumbuh di luaran kehidupan Kraton yang tidak pernah dilirik sebelumnya.

Artinya masyarakat Yogyakarta sudah akrab dengan narasi-narasi yang Orba kembangankan untuk membentuk keteraturan. "Pitutur atau wiwarah mulanya produk elite kerajaan Jawa (Mataram) tempo dulu yang selalu dihempaskan pada pusaran konflik antar-kerajaan dan intra-kerajaan, yang kemudian melahirkan local wisdom yang berbentuk piturur atau wiwarah-wiwarah yang menjurus pada terwujudnya kedamaian," katanya.

Sejumlah film bikinan para sineas Jogja merekam 'warisan' yang mengendap dalam kepala orang-orang lalu menjadi nilai budaya yang sukses besar mengatur perilaku itu. Para peneliti juga Gengs. Dyna Herlina, contohnya. Akademisi sekaligus peneliti film menemukan bahwa banyak film yang dibikin sineas, terutama bikinan Dinas tidak mengedepankan konflik. Dalam banyak film yang ia teliti medio 2014 sampai sekarang, konflik tidak dipertentangkan dengan sangat tajam dalam alur cerita.

"Konflik diselesikan dengan manusiawi. Caranya, tidak meyalahkan, kedua belah pihak memberikan kontribusi kesalahan atau solusinya diberikan pada pihak ketiga. Ada penyelesaian masalah yang Yogya banget. Situasinya dibuat harmonis, konflik tujuannya mengembalikan keharmonisan bukan menyelesaikan masalah," beber Dyna Herlina.

Kekhasan lainnya adalah tokoh dan penokohan. Hampir semua film yang dibiayai Dinas karakternya punya tokoh utama orang biasa. Nggak kaya. Nggak pinter banget, dan jauh dari kekuasaan. Mereka mengambil cerita dari orang biasa, desa, ibu-bu, dan lain sebagainya. Pitutur, wiwarah, dan nilai-nilai yang disebarkan Orba adalah solusi dalam menyudahi konflik. Dua hal itu menciptakan streotipe sendiri tentang dunia perfileman Yogyakarta. Yogya dinilai punya gaya sendiri, kekhasan sendiri.

"Orang-orang Yogya senang nonton filmnya sendiri. Mereka haus gitu dengan representasi lokal. Cerita yang mencerminkan diri mereka sendiri. Kenapa bisa ada yang menyebut Yogya banget? Mungkin karena apa yang diceritakan dalam film ya mereka banget. Guyon atau situasi yang Yogya banget," sambung penulis "Krisis dan Paradoks Film Indonesia" dan "Pembuat Film Yogyakarta (2015)" itu.

Link source: http://journal.ui.ac.id/index.php/mjs/article/viewFile/4860/3361

No comments:

Powered by Blogger.