Tubuh-tubuh di Bioskop

Gengs..

Industri perfileman, khususnya saat bicara bioskop adalah sejarah gelap. Banget. Peteng. Orang miskin dari waktu ke waktu dilarang nonton bioskop. Bioskop itu bukan sekadar tempat nonton film. Di sana satu dari sekian tempat untuk mengklasifikasikan tubuh secara sosial dan ekonomi. Tubuh dipaksa patuh (udah galak belum?). Tubuh ditempatkan sesuai nominal. Membayar Rp50 ribu dengan Rp80 ribu untuk menonton film serupa itu beda.



Jurnalis sekaligus penulis, Alwi Shahab, menemukan fakta gelapnya sejarah bioskop dalam buku "Saudagar Baghdad dari Betawi". Di era kolonial, bioskop dibagi sesuai tempat menonton yakni kelas balcon, loge, stalles, dan kelas I. Ada juga bioskop yang membagi stratanya menjadi kelas I, II, dan II. Setiap bioskop memegang prinsip seperti ini, semakin jauh tempat duduk dari layar, maka harga karcis akan semakin mahal.

Sukarno, hanya mampu menonton di belakang layar kala itu. Misbach Yusa Biran dalam "Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa" mencatat kolonial punya istilah 'kelas kambing' untuk para pribumi. Tempat di mana Sukarno nonton itu contohnya. Pebisnis era kolonial juga menciptakan kelas sesuai bangunan. Ada bioskop yang khusus untuk orang Eropa saja. Bioskop Deca Park di Batavia atau Alhambra di jantung kota Jogja. Kelas-kelas ini tergantung lokasi gedung dengan keadaan ekonomi masyarakat sekitar.

Dua catatan itu memperlihatkan bahwa bioskop di era kolonial banyak berdiri di dekat pusat kekuasaan, dalam hal ini kantor pemerintahan. Sementara bagi orang-orang di pelosok, perkenalan dengan bioskop terjadi ketika kedatangan Jepang. Divisi Barisan Gambar Hidoep tentara Jepang keliling kampung dan dusun menyuguhkan tontonan gratis bermodal sebuah layar lebar dan pengeras suara di lapangan yang sudah ditentukan.

Cara-cara Jepang ini diadopsi para pengusaha setelah kemerdekaan. Sementara bioskop-bioskop di dekat pusat pemerintahan jadi alat propaganda Sukarno dan kawan-kawan. Tubuh, sekali lagi tidak menemukan kebebasannya. Tubuh rakyat dipaksa mengikuti ideologi yang sama sekali tak pernah mereka rasakan dampaknya.

Pasca 1965, industri perfileman bisa dikatakan hancur. Perampasan kuasa berdampak negatif bagi perfileman. Untuk mengisi kekosongan, Orba membuka keran impor selebar-lebarnya. Bioskop kala itu dipenuhi film-film Amerika. Bioskop drive-in membuka peluang bisnis baru yang sayangnya hanya bisa dinikmati orang-orang berduit. Pertengahan 80an jaringan bioskop mulai terbentuk. Cinema XXI, The Premiere, Cinema 21 contohnya. Harga karcisnya terjangkau, khususnya untuk orang-orang tertentu.

Usai melewati periode gelap, perfileman Indonesia mulai bergairah pasca reformasi. Film-film lokal kembali dilirik, barangkali penonton juga mulai bosan dengan suguhan sinetron dan telenovela di televisi. Mungkin juga mereka rindu dengan film yang dekat dengan mereka. Di sisi lain produksi film independen (yang diproduksi sendiri dengan alat-alat kustom) meningkat, terutama di Jogja. Film-film pendek bermunculan bersamaan dengan ruang-ruang pemutaran alternatif yang diakhiri diskusi.

Tahun 2001, Kelompok Belajar Bikin Film (KBBF) turut meramaikan skena perfileman di Jogja. Pertumbuhan ruang di sekitar cukup menarik tetapi mereka tak mau latah. Dengan keterbatasan referensi dan alat, mereka nekad bikin film lalu memperkenalkannya di bioskop. Judulnya "Video Cinta (Pak Pos Tolong Antarkan Bibirku) untuk kali pertama sebelum menggelar pemutaran di BPA Sekip akhir April 2001. Kala itu jaringan-jaringan bioskop menutup peluang para sineas untuk memperkenalkan karya mereka dengan alasan komersil. Maka KBBF membuat antitesis bahwa film komersil yang dibikin kelompok kecil juga bisa tayang di bioskop dan ruang-ruang yang dekat dengan rakyat.

"Apakah film Indonesia bisa hadir di bioskop ya itu yang kami usahakan. Kami memilih bioskop untuk memperkenalkannya karena bioskop kala itu hanya memutar film Indonesia yang kelas B. Erotis begitu. Terus kami putar di  kampus karena keinginan membuka ruang alternatif saja biar masyarakat bisa mengakses film dengan cara yang paling gampang," beber Agus Rochmad a.k.a Cosu sutradara "Video Cinta".

Bagaimana KBBF membuat film adalah sederet keajaiban sekaligus heroisme. Mereka saat itu berstatus sebagai mahasiswa dengan tingkat ekonomi rendah. Mau nyewa CD ke rental untuk referensi saja tidak kuat. Acuan pembuatan ya film populer yang tayang di televisi seperti 'Natural Born Killer' garapan Quentin Tarantino, Srimulat, dan sinetron.

"karena saat itu era TV sangat kuat. Memengaruhi semuanya. Kalau kita perhatikan, dialog maupun gerak ya dipengaruhi TV. Rujukannya ya TV banget. Hanya berdasar ingatan saja bikinnya. Sejak awal kami nggak pernah menyasar festival karena sudah banyak yang berpikir ke sana. Tujuan kami komersil dan cari uang karena tidak setiap orang harus jadi Sukarno," sambung Doni Kus.

Koran Bernas, edisi 24 April 2001 sempat mencatat gerakan KBBF dalam mempromosikan filmnya tersebut. Sang sutradara, tulis Bernas, memastikan bahwa tidak akan ada lagi kesalahan teknis penyebab kegagalan putar di UNY 7-8 April lalu. Doni Kus dan Cosu ingat sekali pemutaran perdana di UNY itu kacau balau. Film berformat super VHS itu gagal putar karena belum terender padahal penonton sudah menyesaki ruang pemutaran. Beruntung kala itu waktu berpihak pada tiap kepala yang datang sehingga berkontemplasi bukan hal aneh.

"Di pemutaran kedua, di Sekip UGM film sukses diputar meski kami tidak untung sama sekali. Malah uang dari karcis parkir lebih banyak dari pemutaran. Tetapi di sanalah semangatnya, kami ingin film bisa dekat dengan semua orang," tandas Cosu.

Yang pokok dalam momentum 21 tahun lalu itu sebenarnya bukan untung rugi melainkan pertemuan para tubuh dalam ruang pemutaran yang tak terikat kelas. Sementara mereka yang dalam bioskop dilarang untuk menyilangkan kaki atau selonjoran saat menyaksikan Rangga dan Cinta bertengkar karena puisi.

No comments:

Powered by Blogger.