YK48: Propaganda vs Propaganda
Gengs..
Kami yakin Malapetaka 15 Januari (Malari) adalah momen yang bikin rezim Orde Baru (Orba) jadi galak setengah mati sama aktivitas anak muda. Maklum, Orba rezim traumatik. Mereka nggak mau pemberontakkan PKI 1948, kisruh politik 1965, dan demonstrasi besar mahasiswa 66 terulang lagi. Sebab, demokrasi dianggap bentuk sempura dari ketidakteraturan.
Setelah mengambing hitamkan Hariman Siregar dan kawan-kawan (cek google deh biar dikit ngerti) Orba bikin banyak produk dan program yang mengatur perilaku sampai aktivitas anak muda termasuk saat santai di ruang privatnya sendiri. Cita-cita, bahasa, pakaian, makan, sampai buang hajat diatur. Misi itu disebarkan lewat banyak cara dan medium.
Contoh? banyak! Bahasa misalnya. Di era Orba nama orang-orang yang menggunakan bahasa Tiongkok dilarang. Harus pakai nama Indonesia. Nggak boleh baca buku-buku atau majalah yang mereka anggap bahaya, salah satunya novel Pramoedya Ananta Toer. Tubuh adalah milik negara. Dilarang gondrong plus tatoan. Tahun 70an Orba merazia anak-anak muda berambut gondrong. Tahun 80an ada shock therapy bernama Petrus.
Berkesenian harus ikut ukuran sekaligus tafsir dari pemerintah. Departemen Penerangan jadi perpanjangan tangan mereka Gengs (Baca: Gegar Film Post-Departemen Penerangan). Solois yang bawain lagu menye nggak boleh rekaman atau tampil di TVRI. Mereka dituduh melenceng dari semangat pembangunan Orba. Teater bernasib sama. "Sampek Engtay" Teater Koma dilarang pentas di Medan tahun 80an. Pementasan serupa di Jakarta tahun 1990 juga disetop polisi tepat di hari ke-11 pementasannya. Film tak jauh beda. Badan sensor bernama Deppen itu benar-benar mengerikan.
Rakyat bagi Orba itu hanya eksperimen. Misalnya petani. Mereka dipaksa melupakan warisan nenek moyang demi meningkatkan produksi yang hasilnya enggak pernah mereka rasakan lewat program modernisasi pertanian.
“Seorang pembuat film harus datang ke tengah masyarakat. Melihat lalu berdialog dengan mereka, mengangkat masalah di masyarakat. Mereka (masyarakat) yang bicara, menjadi pelaku film, lalu menyuarakan suaranya sendiri. Itulah prinsipnya waktu itu,” —Puskat—
Puskat tak lepas dari kecurigaan dan tuduhan-tuduhan. Penyebaran informasi yang tak sejalan dengan Orba membuat Puskat sempat dilabeli lembaga komunis. Tuduhan paling berat waktu itu. Namun bagi Puskat tidak ada yang lebih menakutkan dari hidup yang tak mewariskan apa-apa. Mereka jalan terus, menyebarkan teologi pembebasan lewat banyak produk dan program sembari mengangkangi maut yang mengepung.
No comments: