Propaganda #BioskopMusik II (Epilog)

Oleh Desta Wasesa

Dari berbagai macam definisi tentang film dokumenter, saya cenderung sepakat dengan pemikiran Misbach Yusabiran. Sutradara, penulis, sastrawan, sekaligus sosok yang disebut-sebut sebagai pelopor dokumentasi film di Indonesia itu percaya bahwa dokumenter merupakan suatu aktivitas pengumpulan arsip yang diolah secara kreatif, bertujuan mempengaruhi penonton, sekaligus dekat dengan propaganda.

Kecenderungan menguat ketika menjadi sukarelawan #BioskopMusik II Pehagengsi di Kedai Kopi Kantin belum lama ini. Propaganda di sini tidak bersifat ontologis, tentang mana yang benar dan mana yang salah maupun aksiologis macam Leni Riefenstahl’s di “Triumph of the Will” atau “The Wandering Jew” Goffredo Alessandrini.


12 dokumenter musik dalam #BioskopMusik II memengaruhi lalu menggiring penonton

secara positif. Mereka punya pandangan baru terhadap realitas. Sebagian ingin membuat sesuatu atau narasi baru dari apa yang telah mereka saksikan. 

Saya menemukannya ketika minta impresi usai pemutaran ke penonton. Ada yang terhenyak lalu memperbarui pandangan atas realita usai menyaksikan narasi dalam 'Eva, Kenapa Rumahmu Jauh?' di mana kenyataan sering berbanding terbalik dengan harapan. Ada musisi ingin mengikuti jejak Yennu Ariendra membuat musik ekperimental macam Raja Kirik.

Muncul pula penonton yang mau membuat film dokumenter tentang basket usai menyaksikan "Fortuna", meniru proses kreatif FSTVLST usai menonton 'Gegas' yang artikulatif, berencana melanjutkan dokumenter 'Underground Pt 1' yang dibuat Jimmy Mahardika 20 tahun lalu, dan yang paling menyenangkan membuat buku tentang budaya pop setelah mengamati 'Jogja Noizer' dan 'Jalur Sutra'.

Tidak hanya fakta menyenangkan. Selama berproses bersama Pehagengsi dalam BioskopMusik saya menemukan fakta bahwa dokumenter musik di Indonesia masih kurang dibandingkan negara lain. Kiki kesulitan mencari band, musisi, bahkan filmaker yang punya dokumentasi arsip secara visual yang sudah disulam menjadi dokumenter. Baru H-4 12 film itu terkumpul setelah melewati lobi panjang. 

Barangkali ada berbuntal persoalan yang melatarbelakanginya. Misalnya saja keterbiasaan menyajikan realita oleh filmaker yang selalu diancam senapan. Sejak kemerdekaan, film dokumenter selalu dibuat untuk menegaskan kelas dan opisisi biner. Sebut saja dokumentasi perjalanan Ratu Orlando dan Raja Hertog Hendrik di kota Den Haag sampai era Nippon Eiga Sha tahun 1940-an. Revolusi juga meletakkan film dokumenter sebagai media propaganda negara untuk rakyatnya sendiri. Di era Orde Baru makin parah. Dokumenter disebut film sejarah, film flora dan fauna, penyuluhan berisi program-program pemerintah sekaligus penanaman kebencian terhadap mereka yang tidak setuju dengan rezim.

Fakta lain juga cukup menyebalkan. Pemutaran tidak pernah tepat waktu. Kami selalu telat 30 sampai 60 menit memutar film karena harus menunggu penonton yang sudah mendaftarkan diri via daring. Kami harus setabah Pance Pondaag dalam 'Nostalgia Biru' ketika menunggu penonton. Tapi rasa kesal itu berganti suka cita usai pemutaran karena anak musik, film, dan penonton bisa nongkrong bareng. Dari sana mungkin tahun depan kita bisa menyaksikan kolaborasi karya. Semoga. 


Akses foto-foto dokumentasi Bioskop Musik (II) Ngabuburit di sini

Simak prolog Bioskop Musik (II) Ngabuburit di sini

No comments:

Powered by Blogger.